Wabah Yang Sedang Terjadi Adalah Sebuah Titik Balik
Terbangun dini hari lalu iseng mengecek ponsel. Ya Allah, update pasien corona sudah lebih dari 300. Ada yang menulis 311, lainnya menulis 319. Total 25 orang meninggal dunia.
Saya terdiam cukup lama. Entah mau bilang apa. Di satu sisi alhamdulillaah saya mendapatkan banyak kemudahan dari Allah. Anak-anak sudah belajar dari rumah sejak senin. Begitu pula dengan suami, sudah bekerja dari rumah. Meski kasihan juga sih, seringnya baru selesai tengah malam karena banyaknya report yang diminta. Tapi tak mengapa, segini saja sudah alhamdulillaah banget. Bisa berkumpul tanpa galau besok makan atau tidak.
Di sisi lain, berita-berita yang bersliweran sungguh menyedihkan. Ada banyak saudara setanah air yang sangat kekurangan. Rata-rata mereka yang mengandalkan penghasilan harian macam buruh kasar, pengemudi angkutan umum mulai dari becak, angkot, termasuk ojek/taksi online, pedagang kecil terutama yang biasa jualan di kaki lima atau pasar serta tak terbiasa atau tak memungkinkan jualan online, tukang parkir, dan lainnya.
Apa yang bisa diberikan pada keluarganya seandainya diharuskan diam di rumah? Atau jikapun berjualan sementara banyak orang taat untuk diam di rumah, apakah masih bisa tetap ada penghasilan?
Anti lockdown nih? Mungkin ada yang berpikir demikian. Tentu saja tidak. Saya masyarakat awam yang saat diberitahu bahwa lockdown atau minimal social distancing adalah solusi yang berhasil dijalankan di negara lain, maka akan berusaha patuh.
Corona Sebuah Titik Balik
Sejenak saya memalingkan muka dari mereka yang kesulitan ekonomi. Sebentar, biarkan otak ini berputar keras memikirkan cara bagaimana membantu mereka yang kesulitan mendapatkan penghasilan akibat wabah Covid-19.
Sambil berpikir saya melihat seisi rumah. Suami dan ketiga anak saya sudah terlelap. Memandangi wajah mereka satu-persatu, beragam rasa campur aduk di dalam dada hingga bergemuruh. Jutaan tanya berlompatan di benak.
Bagaimana jika salah satu dari kami terkena wabah dan harus pergi terlebih dahulu?
Bagaimana jika itu adalah saya?
Bagaimana jika suami saya? Anak-anak saya?
Ah ya Allah, tak terasa airmata menggenang. Saya tak sanggup membayangkannya. Apalagi sepanjang hari tak henti di-posting gambar dan berita yang memberitahukan bahwa korban meninggal akibat Corona tidak dipulangkan lagi ke rumah. Tak ada shalat jenazah, bahkan tak bisa dipeluk untuk terakhir kalinya karena tak boleh dijenguk sejak awal. Terlalu tinggi resikonya jika proses penanganan jenazah dilakukan seperti tatacara pada umumnya.
Ah, bagaimanalah nanti, akankah ada yang sudi melayat? Atau sekedar mendoakan, akankah para kerabat dan sahabat sempat dikala semuanya disibukkan dengan social distancing yang membuat para ibu umumnya bekerja ekstra akibat anak-anak belajar di rumah dan para bapak yang berkutat dengan pekerjaan atau sibuk mencari cara untuk mendapatkan penghasilan.
Lalu di sudut lain tampak sebagian orang masih sibuk memperdebatkan urusan lockdown dan lokasi shalat.
Pro lockdown mengatakan bahwa inilah solusi paling ampuh sejauh ini, sudah dibuktikan di beberapa negara.
Kontra lockdown sepakat bahwa ini akan mematikan sendi perekonomian rakyat kecil.
Mengenai penutupan mesjid ...
Pro Fatwa MUI mengatakan bahwa ini kondisi darurat maka sebaiknya menghindari solat berjamaah baik shalat fardhu maupun jumatan dan solat di rumah saja.
Sementara itu tak sedikit yang kontra. Rata-rata beralasan bahwa sholat di mesjid lebih besar keutamaannya ketimbang di rumah, mesjid adalah rumah Allah jadi pasti aman apalagi yang masuk mesjid pasti sudah wudhu. Atau satu lagi, mengaitkan dengan segala macam teori konspirasi mengosongkan mesjid.
Saya ikut yang mana? Tentu saja Fatwa MUI. Bahwa di daerah yang berpotensi tinggi penyebaran virusnya, maka sangat baik untuk shalat di rumah saja. Sementara yang rendah, masih boleh shalat jamaah di mesjid. Itupun jangan lupa tetap sering mencuci tangan dengan sabun, bawa sajadah sendiri dan upaya pencegahan lainnya.
Itu saja. Sudahi debat, teman-teman. Karena ini sejatinya hanyalah tentang waktu: Siapa yang Allah takdirkan untuk pergi duluan?
Bagaimana jika itu kita?
Jangan jemawa karena merasa sehat wal afiat. Bukankah salah satu pasien positif corona pun tampak sehat dan masih bisa beraktifitas selama dua atau tiga pekan sejak pertama merasakan nyeri pasca mdansa? Tapi tanpa disadari, ia menularkannya pada ibunya yang sudah sepuh dan memiliki riwayat penyakit lain. Sang ibu kini sudah meninggal dunia.
Sekali lagi, bagaimana jika itu kita? Kita yang harus menjalani isolasi di Rumah Sakit tanpa boleh dijenguk, hanya berteman dinding sepi dan para makes yang terbungkus pakaian serba rapat dan masker. Plus tanpa tahu apakah akan kembali ke rumah atau tidak.
Ingat, jejak digital itu ada!
Terbayangkah jika status terakhir kita adalah kalimat-kalimat kasar yang memaki atau meng-ghibah drang lain? Maka dengan itulah kita akan dikenang.
Tentu kita boleh tak sepakat dengan orang lain atau ingin mengedukasi mereka yang ngeyel terhadap peraturan sehingga berpotensi membahayakan orang lain. Tapi please, lakukan dengan baik. Sambil terus di dalam hati didoakan agar Allah lembutkan hatinya menerima ilmu dan bijak menempatkan suatu dalil.
Dan tentang Corona ...
Saya sangat berharap bahwa ujian ini bisa membuat kita sebagai warga Indonesia kembali erat. Tak lagi ada perpecahan akibat perbedaan preferensi politik. Tak lagi cepat tersulut oleh isyu SARA. Juga tak lagi mudah terlibat dalam mom war.
Kembalilah jadi masyarakat yang terkenal dengan keramahannya, masyarakat yang gemar gotong-royong, serta masyarakat yang mengedepankan toleransi atas segala perbedaan.
Jika demikian, maka rasanya tak mustahil bahwa Indonesia akan bisa pulih dengan cepat meski tidak sekaya negara lain yang mampu menggelontorkan ribuan trilyun untuk menghadapi wabah Covid-19 ini. Bangsa ini bahkan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya jjka semua elemen masyarakat bersatu-padu melakukan yang terbaik untuk diri sendiri maupun sesama.
Mari 'merayu' Allah Sang Pemilik Kehidupan dengan berlomba-lomba mempersembahkan kemampuan terbaik yang kita miliki, agar Dia ridha mengangkat wabah ini dari ibu pertiwi.
Jikapun kemungkinan terburuk yang terjadi, yaitu kitalah yang duluan menghadap-Nya karena wabah ini (naudzubillaahimindzalik), setidaknya kelak kita bisa mempertanggungjawabkan bahwa diri ini bukanlah manusia egois dan serakah saat musibah melanda.
Corona Sebuah Titik Balik
Salam hangat,
Penulis :Pritha Khalida Umum
Terbangun dini hari lalu iseng mengecek ponsel. Ya Allah, update pasien corona sudah lebih dari 300. Ada yang menulis 311, lainnya menulis 319. Total 25 orang meninggal dunia.
Saya terdiam cukup lama. Entah mau bilang apa. Di satu sisi alhamdulillaah saya mendapatkan banyak kemudahan dari Allah. Anak-anak sudah belajar dari rumah sejak senin. Begitu pula dengan suami, sudah bekerja dari rumah. Meski kasihan juga sih, seringnya baru selesai tengah malam karena banyaknya report yang diminta. Tapi tak mengapa, segini saja sudah alhamdulillaah banget. Bisa berkumpul tanpa galau besok makan atau tidak.
Di sisi lain, berita-berita yang bersliweran sungguh menyedihkan. Ada banyak saudara setanah air yang sangat kekurangan. Rata-rata mereka yang mengandalkan penghasilan harian macam buruh kasar, pengemudi angkutan umum mulai dari becak, angkot, termasuk ojek/taksi online, pedagang kecil terutama yang biasa jualan di kaki lima atau pasar serta tak terbiasa atau tak memungkinkan jualan online, tukang parkir, dan lainnya.
Apa yang bisa diberikan pada keluarganya seandainya diharuskan diam di rumah? Atau jikapun berjualan sementara banyak orang taat untuk diam di rumah, apakah masih bisa tetap ada penghasilan?
Anti lockdown nih? Mungkin ada yang berpikir demikian. Tentu saja tidak. Saya masyarakat awam yang saat diberitahu bahwa lockdown atau minimal social distancing adalah solusi yang berhasil dijalankan di negara lain, maka akan berusaha patuh.
Corona Sebuah Titik Balik
Sejenak saya memalingkan muka dari mereka yang kesulitan ekonomi. Sebentar, biarkan otak ini berputar keras memikirkan cara bagaimana membantu mereka yang kesulitan mendapatkan penghasilan akibat wabah Covid-19.
Sambil berpikir saya melihat seisi rumah. Suami dan ketiga anak saya sudah terlelap. Memandangi wajah mereka satu-persatu, beragam rasa campur aduk di dalam dada hingga bergemuruh. Jutaan tanya berlompatan di benak.
Bagaimana jika salah satu dari kami terkena wabah dan harus pergi terlebih dahulu?
Bagaimana jika itu adalah saya?
Bagaimana jika suami saya? Anak-anak saya?
Ah ya Allah, tak terasa airmata menggenang. Saya tak sanggup membayangkannya. Apalagi sepanjang hari tak henti di-posting gambar dan berita yang memberitahukan bahwa korban meninggal akibat Corona tidak dipulangkan lagi ke rumah. Tak ada shalat jenazah, bahkan tak bisa dipeluk untuk terakhir kalinya karena tak boleh dijenguk sejak awal. Terlalu tinggi resikonya jika proses penanganan jenazah dilakukan seperti tatacara pada umumnya.
Ah, bagaimanalah nanti, akankah ada yang sudi melayat? Atau sekedar mendoakan, akankah para kerabat dan sahabat sempat dikala semuanya disibukkan dengan social distancing yang membuat para ibu umumnya bekerja ekstra akibat anak-anak belajar di rumah dan para bapak yang berkutat dengan pekerjaan atau sibuk mencari cara untuk mendapatkan penghasilan.
Lalu di sudut lain tampak sebagian orang masih sibuk memperdebatkan urusan lockdown dan lokasi shalat.
Pro lockdown mengatakan bahwa inilah solusi paling ampuh sejauh ini, sudah dibuktikan di beberapa negara.
Kontra lockdown sepakat bahwa ini akan mematikan sendi perekonomian rakyat kecil.
Mengenai penutupan mesjid ...
Pro Fatwa MUI mengatakan bahwa ini kondisi darurat maka sebaiknya menghindari solat berjamaah baik shalat fardhu maupun jumatan dan solat di rumah saja.
Sementara itu tak sedikit yang kontra. Rata-rata beralasan bahwa sholat di mesjid lebih besar keutamaannya ketimbang di rumah, mesjid adalah rumah Allah jadi pasti aman apalagi yang masuk mesjid pasti sudah wudhu. Atau satu lagi, mengaitkan dengan segala macam teori konspirasi mengosongkan mesjid.
Saya ikut yang mana? Tentu saja Fatwa MUI. Bahwa di daerah yang berpotensi tinggi penyebaran virusnya, maka sangat baik untuk shalat di rumah saja. Sementara yang rendah, masih boleh shalat jamaah di mesjid. Itupun jangan lupa tetap sering mencuci tangan dengan sabun, bawa sajadah sendiri dan upaya pencegahan lainnya.
Itu saja. Sudahi debat, teman-teman. Karena ini sejatinya hanyalah tentang waktu: Siapa yang Allah takdirkan untuk pergi duluan?
Bagaimana jika itu kita?
Jangan jemawa karena merasa sehat wal afiat. Bukankah salah satu pasien positif corona pun tampak sehat dan masih bisa beraktifitas selama dua atau tiga pekan sejak pertama merasakan nyeri pasca mdansa? Tapi tanpa disadari, ia menularkannya pada ibunya yang sudah sepuh dan memiliki riwayat penyakit lain. Sang ibu kini sudah meninggal dunia.
Sekali lagi, bagaimana jika itu kita? Kita yang harus menjalani isolasi di Rumah Sakit tanpa boleh dijenguk, hanya berteman dinding sepi dan para makes yang terbungkus pakaian serba rapat dan masker. Plus tanpa tahu apakah akan kembali ke rumah atau tidak.
Ingat, jejak digital itu ada!
Terbayangkah jika status terakhir kita adalah kalimat-kalimat kasar yang memaki atau meng-ghibah drang lain? Maka dengan itulah kita akan dikenang.
Tentu kita boleh tak sepakat dengan orang lain atau ingin mengedukasi mereka yang ngeyel terhadap peraturan sehingga berpotensi membahayakan orang lain. Tapi please, lakukan dengan baik. Sambil terus di dalam hati didoakan agar Allah lembutkan hatinya menerima ilmu dan bijak menempatkan suatu dalil.
Dan tentang Corona ...
Saya sangat berharap bahwa ujian ini bisa membuat kita sebagai warga Indonesia kembali erat. Tak lagi ada perpecahan akibat perbedaan preferensi politik. Tak lagi cepat tersulut oleh isyu SARA. Juga tak lagi mudah terlibat dalam mom war.
Kembalilah jadi masyarakat yang terkenal dengan keramahannya, masyarakat yang gemar gotong-royong, serta masyarakat yang mengedepankan toleransi atas segala perbedaan.
Jika demikian, maka rasanya tak mustahil bahwa Indonesia akan bisa pulih dengan cepat meski tidak sekaya negara lain yang mampu menggelontorkan ribuan trilyun untuk menghadapi wabah Covid-19 ini. Bangsa ini bahkan akan menjadi lebih baik dari sebelumnya jjka semua elemen masyarakat bersatu-padu melakukan yang terbaik untuk diri sendiri maupun sesama.
Mari 'merayu' Allah Sang Pemilik Kehidupan dengan berlomba-lomba mempersembahkan kemampuan terbaik yang kita miliki, agar Dia ridha mengangkat wabah ini dari ibu pertiwi.
Jikapun kemungkinan terburuk yang terjadi, yaitu kitalah yang duluan menghadap-Nya karena wabah ini (naudzubillaahimindzalik), setidaknya kelak kita bisa mempertanggungjawabkan bahwa diri ini bukanlah manusia egois dan serakah saat musibah melanda.
Corona Sebuah Titik Balik
Salam hangat,
Penulis :Pritha Khalida Umum
Belum ada Komentar untuk "Wabah Yang Sedang Terjadi Adalah Sebuah Titik Balik"
Posting Komentar
Catatan Untuk Para Jejaker